Berbicara tentang istilah ‘Batak’ maka pikiran kita tentu tertuju kepada diri kita sendiri ‘Halak Hita’ yang hidup atau berasal dari kawasan Sumatera Utara. Tetapi istilah itu tidak melulu menjadi milik kita. Ungkapan ‘Batak’ ditemukan di Bulgaria, Turki dan beberapa daerah Persia. Kurang jelas memang dari ungkapan itu apakah ada sekelompok orang yang menamakan diri sebagai orang Batak di sana.
Di Filipina, saat ini ada sebuah suku yang menamakan diri ‘Batak’. Kehidupan mereka masih setengah nomaden. Mereka dikuatirkan sedang menuju ke arah kepunahan. Memang sudah ada badan dunia dari PBB yang mencoba menolong untuk menyelamatkan mereka. Kita berharap usaha itu berhasil. Siapa tahu kelak ada antropolog Batak yang dapat menemukan hubungan kekerabatan kita dengan mereka. (mudah-mudahan dari segi genetika, Pak Sangkot Marzuki bisa menolong).
Selain halak hita, di Indonesia ada juga sebuah sub etnis Jawa (tinggal di kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur). Jumlah mereka memang tidak begitu banyak sehingga kurang mendapat perhatian.
Orang Komering (tinggal di Sumatera Selatan) sering disebut-sebut juga sebagai hasil perkawinan antara orang Batak dan Orang Lampung. Ada yang menyebut bahwa orang Lampung sesungguhnya adalah keturunan Si Raja Batak. (Lampung ?= lapung).
Kita yang tinggal dan berasal dari ‘Tano Batak’ hingga saat ini masih belum jelas yakin dan mengetahui berapa banyak sebenarnya subgoup Batak itu. Ada yang menyatakan lima, enam bahkan tujuh (Toba, Simalungun, Paro, Pakpak, Mandailing, Pesisir(?) dan Nias(?)). Subgroup ini akan bertambah lagi setelah dikenalkan akan adanya satu sub-Batak di daerah Aceh. Mereka dinamai (oleh peneliti asing) sebagai Batak Alas-Kluet.
Dari beberapa literatur yang saya dapatkan mereka tinggal di daerah pegunungan Bukit Barisan. Saat ini ada satu kota kecil di pesisir Barat Aceh bernama Kluet, dan mungkin kota ini menjadi kota mereka. Orang Batak Alas-Kluet bertetangga dengan orang Gayo dan mempunyai persamaan gaya hidup dan budaya.
Batak Alas-Kluet ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh dan memaksa mereka ke dalam perbudakan pada paro pertama tahun 1600-an. Mereka kini menganut agama Islam (Sunni 99,9 %). Selama jangka waktu tertentu keberadaan mereka tidak diketahui dan tidak tersentuh oleh pihak luar. Pada masa penjajahan, mereka dapat bertahan terhadap okupasi Belanda (tahun 1904 hingga 1942) dan banyak diantara mereka yang terbunuh.
Orang Batak Alas-Kluet menjalani hidup mereka dengan bertani dan dengan sisa-sisa latar belakang ‘Habatahon’. Perkawinan mereka exogamous (kawin dengan marga lain) seperti halnya kita ‘Halak Batak’ dan jarang yang berpoligami. Perkawinan biasanya diatur oleh kedua keluarga calon mempelai. Pertunangan (pra-perkawinan) biasanya memerlukan waktu kira-kira tiga tahun.
Kekuasaan di desa-desa dibagi menurut kelompok keluarga sesuai dengan mergo (mungkin berasal dari kata ‘marga’). Dan bagian pemerintahan yang lebih kecil lagi dinamai rodjo. Sekelompok orang ‘namarsabutuha’ diberi sebutan sara rodjo (sada ama) atau sara ino (sada ina).
Batak Alas-Kluet tidak mengenal karakter tulisan. Mungkin mereka belum sempat mengenal Surat Batak atau mungkin Surat Batak belum tercipta ketika mereka bermukim di sana. Semua bentuk nasihat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kehidupan sosial diturunkan secara turun temurun melalui tarombo-tarombo dan turi-turian.
(Bukankah ‘halak hita’ mempunyai identitas yang sama?).
Statistik:
Demografi: (1990) 80.900 orang
1. 87.400 orang
1. 94.100 orang.
Yang pasti, mereka sesungguhnya adalah orang Batak. Bagaimana dan siapakah kerabat mereka yang paling dekat dengan Halak Hita yang kita kenal sekarang ?. Kita belum tahu. Mereka adalah saudara kandung kita yang merupakan keturunan Si Raja Batak yang bertempat tinggal di sana.
Harapan penulis apabila suatu ketika kita mengadakan sebuah pertemuan (semacam seminar) tentang Batak, mari kita ikutkan dan pikirkan orang Batak Alas-Kluet. Adakah diantara kita yang tertarik membuat lembaga penelitian tentang mereka dan menolong sehingga mengetahui bahwa mereka tidak sendiri?. Mereka perlu mengetahui bahwa Halak Hita ada dan dapat dimintai pertolongan.
Horas
(*) Wilson Rajagukguk
Magister dalam bidang Demografi, tinggal di Depok.
sukutan keluwat yang di tulis janah no,terlalu melun2ko suku halak hita,sedangko bantong mebuwe sodaroto yg bantong betohan sukutan keluwat yang sebenarno,kami harapkon ulangmo "tandok di senambat"tape sohkomo bo serambih legat.
Aku ino kak lawe kluat. sendah aku tadeng di kota fajar. aku pido maaf bo'm bang baso kluatku mbue salahno. inimo usahaku seke promosiko kluat kito bo masyarakat dunio.
4 komentar:
BATAK ALAS-KLUET
Wilson Rajagukguk (*)
Berbicara tentang istilah ‘Batak’ maka pikiran kita tentu tertuju kepada diri kita sendiri ‘Halak Hita’ yang hidup atau berasal dari kawasan Sumatera Utara. Tetapi istilah itu tidak melulu menjadi milik kita. Ungkapan ‘Batak’ ditemukan di Bulgaria, Turki dan beberapa daerah Persia. Kurang jelas memang dari ungkapan itu apakah ada sekelompok orang yang menamakan diri sebagai orang Batak di sana.
Di Filipina, saat ini ada sebuah suku yang menamakan diri ‘Batak’. Kehidupan mereka masih setengah nomaden. Mereka dikuatirkan sedang menuju ke arah kepunahan. Memang sudah ada badan dunia dari PBB yang mencoba menolong untuk menyelamatkan mereka. Kita berharap usaha itu berhasil. Siapa tahu kelak ada antropolog Batak yang dapat menemukan hubungan kekerabatan kita dengan mereka. (mudah-mudahan dari segi genetika, Pak Sangkot Marzuki bisa menolong).
Selain halak hita, di Indonesia ada juga sebuah sub etnis Jawa (tinggal di kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur). Jumlah mereka memang tidak begitu banyak sehingga kurang mendapat perhatian.
Orang Komering (tinggal di Sumatera Selatan) sering disebut-sebut juga sebagai hasil perkawinan antara orang Batak dan Orang Lampung. Ada yang menyebut bahwa orang Lampung sesungguhnya adalah keturunan Si Raja Batak. (Lampung ?= lapung).
Kita yang tinggal dan berasal dari ‘Tano Batak’ hingga saat ini masih belum jelas yakin dan mengetahui berapa banyak sebenarnya subgoup Batak itu. Ada yang menyatakan lima, enam bahkan tujuh (Toba, Simalungun, Paro, Pakpak, Mandailing, Pesisir(?) dan Nias(?)). Subgroup ini akan bertambah lagi setelah dikenalkan akan adanya satu sub-Batak di daerah Aceh. Mereka dinamai (oleh peneliti asing) sebagai Batak Alas-Kluet.
Dari beberapa literatur yang saya dapatkan mereka tinggal di daerah pegunungan Bukit Barisan. Saat ini ada satu kota kecil di pesisir Barat Aceh bernama Kluet, dan mungkin kota ini menjadi kota mereka. Orang Batak Alas-Kluet bertetangga dengan orang Gayo dan mempunyai persamaan gaya hidup dan budaya.
Batak Alas-Kluet ditaklukkan oleh Kesultanan Aceh dan memaksa mereka ke dalam perbudakan pada paro pertama tahun 1600-an. Mereka kini menganut agama Islam (Sunni 99,9 %). Selama jangka waktu tertentu keberadaan mereka tidak diketahui dan tidak tersentuh oleh pihak luar. Pada masa penjajahan, mereka dapat bertahan terhadap okupasi Belanda (tahun 1904 hingga 1942) dan banyak diantara mereka yang terbunuh.
Orang Batak Alas-Kluet menjalani hidup mereka dengan bertani dan dengan sisa-sisa latar belakang ‘Habatahon’. Perkawinan mereka exogamous (kawin dengan marga lain) seperti halnya kita ‘Halak Batak’ dan jarang yang berpoligami. Perkawinan biasanya diatur oleh kedua keluarga calon mempelai. Pertunangan (pra-perkawinan) biasanya memerlukan waktu kira-kira tiga tahun.
Kekuasaan di desa-desa dibagi menurut kelompok keluarga sesuai dengan mergo (mungkin berasal dari kata ‘marga’). Dan bagian pemerintahan yang lebih kecil lagi dinamai rodjo. Sekelompok orang ‘namarsabutuha’ diberi sebutan sara rodjo (sada ama) atau sara ino (sada ina).
Batak Alas-Kluet tidak mengenal karakter tulisan. Mungkin mereka belum sempat mengenal Surat Batak atau mungkin Surat Batak belum tercipta ketika mereka bermukim di sana. Semua bentuk nasihat dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kehidupan sosial diturunkan secara turun temurun melalui tarombo-tarombo dan turi-turian.
(Bukankah ‘halak hita’ mempunyai identitas yang sama?).
Statistik:
Demografi: (1990) 80.900 orang
1. 87.400 orang
1. 94.100 orang.
Yang pasti, mereka sesungguhnya adalah orang Batak. Bagaimana dan siapakah kerabat mereka yang paling dekat dengan Halak Hita yang kita kenal sekarang ?. Kita belum tahu. Mereka adalah saudara kandung kita yang merupakan keturunan Si Raja Batak yang bertempat tinggal di sana.
Harapan penulis apabila suatu ketika kita mengadakan sebuah pertemuan (semacam seminar) tentang Batak, mari kita ikutkan dan pikirkan orang Batak Alas-Kluet. Adakah diantara kita yang tertarik membuat lembaga penelitian tentang mereka dan menolong sehingga mengetahui bahwa mereka tidak sendiri?. Mereka perlu mengetahui bahwa Halak Hita ada dan dapat dimintai pertolongan.
Horas
(*) Wilson Rajagukguk
Magister dalam bidang Demografi, tinggal di Depok.
usahoko bak lengkap dan bok.usahono ceredek tapi ase nalot urok jadino melo2kon bdoh.maaf sebelumno
sukutan keluwat yang di tulis janah no,terlalu melun2ko suku halak hita,sedangko bantong mebuwe sodaroto yg bantong betohan sukutan keluwat yang sebenarno,kami harapkon ulangmo "tandok di senambat"tape sohkomo bo serambih legat.
saya mau tanya, kalau contoh syair kluet itu bagaimana, karena saya mau tahu bagaimana bentuk isi dari syair tersebut.
Posting Komentar